Chapter 4
Pengakuan Adrian
”Eh... kaya’ pernah liat deh dua orang di Restoran Merah Delima itu. What??? Rossa sama Rendy? Ngapaian mereka berdua disitu? Tunggu... tunggu... Cuma BERDUA?? Sebenarnya ada hubungan apa diantara mereka?” Tanya Adrian. Adrian melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimum. Disalipnya semua kendaraan yang menghalangi jalannya.
Hati kecil Adrian berkata...
”Kenapa gue harus marah sama Rossa?”
”Apa gue jealous sama Rossa?”
”Nggak... nggak mungkin gue cemburu sama Rossa.”
”Tapi ya, gue cemburu ngeliat Rossa jalan sama Rendy. Cuma berdua aja?”
”Arghhh... apa kurangnya gue? Apa kelebihan Rendy??
”Gue harus buat perhitungan sama Rendy! Secepatnya!!”
@@@
Di keheningan pagi,
”Selamat pagi Pak Adrian.” Sapaku pada Adrian ketika melihatnya mau memasuki ruangan kerjanya.
”Ke ruangan saya sekarang.” Pinta Adrian tanpa menoleh kearahku. Waduh!! Aku bikin salah apa lagi sih, sampe si Adrian nggak menyahuti sapaanku.
Dengan takut-takut aku melangkah masuk ke ruangan kerja Adrian, yang sebelumya kuketuk dulu pintunya.
”Masuk!!!”
”Kamu ada acara tidak malam ini?” Tanya Adrian langsung padaku.
”Ha??” Aku bengong sesaat.
”Kamu ada acara apa tidak??” Aku segera berpikir...
”Tidak ada Pak?”
”Temani saya makan malam hari ini.”
”Berdua?”
”Ya!!!”
”Tapi Pak...”
”Tidak ada alasan. Keluar!!”
Glekk!! Kenapa si Adrian ini aneh banget. Salah minum obat kali ya?
”Kamu tunggu apa lagi, saya bilang keluar!!”
”E...e...ee.. Baik Pak.” Cepat-cepat aku melangkah keluar dari ruangan Adrian. Dan berjalan menuju meja kerjaku, langsung mengambil HP dan...
”Rendy!”
”Eh, ngapain lo telpon-telpon gue? Hallooo... lo lupa ya kalo kita ini sekantor? Ke ruangan gue aja kali kalo’ ada perlu.”
”Aduh serius dong, Ren.”
”Apaan sih?”
”Adrian ngajak gue makan malam berdua doang.”
”Terus kenapa?”
”Gue takut.”
”Takut apaan?”
”Dia aneh banget hari ini.”
”Lo mau gue ngapain?”
”Gue nggak tahu.”
”Nyantai aja kali, Ros! Makan malam ini.”
”Aduh, tolongin gue dong Ren.”
”Ya udah, gini aja! Gue ikutin lo dari belakang gimana?”
”Ok deh! Thanks ya!”
@@@
Sudah 10 menit aku didalam mobil Adrian. Dan Adrian hanya diam saja, sunyi tidak ada suara.
”Kita mau kemana Pak??” Akhirnya keluar juga suara dalam mulutku.
”Kenapa? Takut??” Ya iyalah, pake nanya lagi. Jawabku dalam hati.
”Dari tadi Bapak tidak bilang apa-apa pada saya.” Jelas terpancar kerisauan di wajahku. Adrian hanya tersenyum saja. Senyuman yang terukir amat menakutkan buatku saat ini. Walaupun sebenarnya senyum Adrian itu manis banget.
”Tidak usah banyak tanya, bisa?” Adrian memberikan pandangan maut kearahku sebelum memalingkan wajahnya ke arah jalan seperti semula.
”Tapi Pak...”
”Shut Up!!” Adrian mengerem mobilnya dengan tiba-tiba yang membuatku terkejut.
”Kenapa jika bersama saya selalu ada kata ’tapi’? Sedangkan dengan Rendy, kamu selalu menurut apa kata dia? Diajak kencan dengannya pun kamu mau. Kenapa Rossa? Kenapa???”
”Rendy? Tapi saya tidak pernah kencan dengan Rendy, Pak. Selain mengantarkan saya pulang, kami tidak pernah pergi berduaan karena maksud tertentu.”
”Tidak pernah pergi berduaan katamu? Kemarin saya lihat kamu dengan Rendy di Restoran Merah Delima...”
”Tapi... saya tidak berduaan saja dengan Rendy, Pak. Tapi ada...”
”Kamu tidak usah menyangkal lagi, saya lihat kamu dengan mata kepala saya sendiri.”
”Kalau pun iya, apa urusan Bapak??? Itu urusan pribadi saya.”
”Saya... saya... Gue cinta sama lo!! Puas!!” Aku bengong mendengar jawaban Adrian.
”Maksud Bapak??” Tanyaku dengan wajah tidak paham.
”Saya juga tidak tahu. Ini semua membuat saya bingung.” Adrian baru menyadari kata-katanya. Wajahnya jelas sekali menunjukkan sebuah kekeliruan.
”Tapi... saya tidak bisa, Pak.”
”Kenapa?”
”Karena saya sudah bertunangan.”
”Dengan siapa? Rendy??”
”Bukan. Dan tidak mungkin dengannya.”
”Kamu mencoba menipu saya, Rossa!!!” Semakin keras terdengar suara Adrian di telingaku.
”Saya tidak berbohong, saya hanya memberitahu kebenarannya!!” Aku pun ikut bersuara keras menanggapi sikapnya yang keras kepala.
”Kalau bukan Rendy, lalu siapa?”
”Saya tidak tahu, Pak!” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
”Katanya kamu sudah bertunangan, tapi saya tanya dengan siapa kamu tidak tahu.”
”Ini terlalu sulit untuk dijelaskan Pak!”
”Siapa tunangan kamu, ROSSA???” Tanya Adrian sambil memukul setir.
”Saya betul-betul tidak tahu Pak. Saya akan perkenalkan dengan Bapak kalau saya sudah menikah dengannya nanti. Saya janji, Pak!” Uhh... rasanya aku ingin lari sejauh mungkin dari sini sekarang juga.
”Argghhh!!” Teriak Adrian.
”Tolong antar saya pulang sekarang, Pak.”
”...”
”Sekarang Pak. Saya mohon!!” Tidak menyangka aku berani memerintah Bossku sendiri.
@@@
Tunangan? Aku sendiri tidak tahu siapa tunanganku. Bagaimana wajahnya. Yang aku ingat, waktu itu aku masih berumur 15 tahun...
”Chacha... sini sayang! Ayah mau ngomong sama kamu.”
”Ada apa Yah?” Aku duduk manis di hadapannya.
”Ayah mau kamu pakai kalung ini.” Kalung berliontin hati itu diulurkan Ayah padaku.
”Untuk apa Yah???”
”Sebagai tanda kalau kamu sudah bertunangan. Eits, jangan coba-coba untuk melepaskannya. Nanti Ayah potong uang saku kamu.” Ya ampun, Ayah sadis nih. Masa’ main potong uang saku aja sih.
”Ok deh Ayah!!” Aku yang pada saat itu tidak mengerti apa-apa, hanya mengiyakan saja apa permintaan Ayah.
”Tunggu... satu lagi, kalau pertunangan ini dibatalkan... Ayah mau kamu kembalikan kalung ini ke Ayah ya?”
”Beres Boss!!” Betapa lugunya aku saat itu.
Tapi sampai kapan pertunangan ini berlanjut???
@@@
”Wah... sudah lama ya kita bertiga nggak makan malam bareng-bareng gini?” Kata Adrian sambil mengambil tempat di meja makan. Papa dan Mama Adrian hanya tersenyum melihat tingkah Anaknya yang senang sekali seperti diberi mainan baru.
”Ryan...”
”Ya Ma!”
”Minggu ini kita pergi ke rumah tunangan kamu ya?”
”Ryan tidak pernah punya tunangan, Ma.”
”Ryan!!!” Bentak Mama Adrian.
”Ryan beri 3 alasan ke Papa, kenapa kamu tidak mau bertemu dengan tunanganmu itu??”
”Pertama... Ryan sudah punya kekasih hati. Kedua... Ryan sudah menemukan permaisuri hati. Ketiga... Ryan mau jadikan dia menantu Papa dan Mama.”
Papa dan Mama Adrian hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban Anaknya.
@@@
”Pa... bagaimana ini, Ryan tidak mau dijodohkan?”
”Papa juga tidak tahu Ma.”
”Mungkin sebaiknya kita batalkan saja pertunangan ini, Pa”
”Papa juga berpikiran seperti itu, Ma.”
”Tapi, kasihan juga dengan si Reza dan anaknya itu.”
”Ya mudah-mudahan, Reza paham dengan keputusan kita Ma.”
”Mama harap juga begitu, Pa.”
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar