Senin, 15 Februari 2010

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 4-Tamat)

Chapter 4
Raka Dan Bella


Raka membuka matanya dengan perlahan. Melihat seisi ruangan dengan mata nanar. Putih, semua serba putih.

'Apa aku sudah mati?' batinnya. Pandangannya buram, dan masih sangat buram.

"Raka...? Kamu sudah sadar?" Suara seseorang menghentakkan hatinya.

"Bella...." gumamnya parau.

"Sudah dua hari kamu tidak sadarkan diri. Kata dokter, kamu gegar otak ringan. Kamu harus banyak istirahat."

Raka tersenyum tipis. Menggenggam jemari tangan Bella yang semula beku. Kini hangat bagaikan matahari yang menyinari lubuk hatinya. Mengapa ia harus mengejar gadis yang tidak mencintainya sama sekali. Ia merasa berdosa telah membiarkan Bella diselimuti kabut tebal. Kini ia berusaha menepis kabut-kabut itu dari kehidupannya.

"Jangan tinggalkan aku, ya?" ujar Raka sendu. Suaranya masih terdengar parau.

Bella tersenyum tipis dengan mata penuh airmata.

"Aku tidak akan meninggalkan kamu, Rak. Selamanya. Percayalah."

Raka tersenyum. Diciuminya jemari Bella dengan lembut.

"Aku sayang kamu, Bel," ujarnya lirih dan pelan.

Bella tersipu bahagia dengan pipi merona merah.

Kini kabut cinta tersebut tak lagi menutupi hati mereka. Kabut telah berlalu. Terhembus angin yang sepoi nan semilir.

Keduanya tersenyum bahagia. Terlebih Bella, yang kini mendapatkan kembali hati pujaannya.



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
(www.dindasweet-86.blogspot.com)

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 3)

Chapter 3
Cinta Tania Untuk Dira


Terlihat Raka mengibaskan kotoran yang menempel di celana jinsnya. Membetulkan kancing jaket parasutnya hingga menutupi lehernya yang jenjang. Memakai penutup kepala dan syal. Entah mengapa bayangan-bayagan Tania bermain-main lagi di benaknya. Bayangan itu seakan tidak mau pergi.

'Mengapa Tania menolak cintaku?' batinnya lagi. 'Aku harus mendapatkannya. Harus!'
Raka menuruni anak tangga gasebo dan berjalan melewati semak belukar. Langkah terhenti oleh suara canda seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Raka berusaha mempertajam pendengaranya. Sepertinya ia kenal betul dengan suara itu. Ya, tidak salah lagi!

Raka berjalan menghampiri sebuah gasebo lain didepannya. Dengan lampu remang dan redup. Ia melihat dua orang anak manusia sedang memadu kasih.

"Tania?" jeritnya, mengerutkan dahi.

"Dira?" lanjutnya terbelalak tak percaya.

Dira terbelalak kaget melihat kehadiran Raka.

"Raka...."

"Kalian ngapain di sini?" tanya Raka menahan gejolak cemburu yang telah membakar di hatinya.

Ternyata Tania mencintai Dira, sahabatnya. Pantas saja Tania menolak cintanya.

"Kamu keterlaluan, Dir! Kamu keterlaluan!" sergah Raka emosi.

"Raka! Apa maksud kamu!"

Raka menarik baju Dira dengan kasar. Matanya melotot tajam menahan kemarahan. Melirik ke arah Tania dengan tatapan mata tajam pula. Sedangkan Tania hanya tertunduk melihat Raka yang tengah kalut. Tania meringkuk ketakutan di tempat duduknya. Matanya hanya sesekali memicing memperhatikan Raka dan Dira.

"Kamu pagar makan tanaman. Kamu tahu kan kalau selama ini aku cinta banget sama Tania."

"Sudahlah, Rak!" tepis Dira. "Tania tidak mencintaimu."

"Hei, kamu pikir kamu hebat?! Sahabat macam apa kamu?!" Raka mempererat tarikan pada kerah baju Dira. Dan dengan kasar dihentaknya tubuh tegap itu hingga terjerembab di atas rerumputan.

Tak lama kemudian Dira bangkit dengan emosi yang membara. "Kamu mau apa sih, Rak?! Kamu tahu diri sedikit, dong. Tania itu tidak mencintai kamu! Tapi mencintai aku!"

"Hei, kurang ajar!" Raka mendorong tubuh Dira. "Yang pertama kali mengenal Tania itu aku! Bukan kamu!"

"Hm... apa kamu lupa, kamu itu tidak pantas mendapatkan Tania. Kamu itu pecundang!"

"Arrghhh...."

Buuuk! Braakkk. Duuk....

Raka memukul tubuh Dira berkali-kali. Dan menghajarnya tanpa ampun. Raka dan Dira terus berkelahi. Saling baku hantam memperebutkan seorang gadis yang sama-sama mereka cintai.

Dira balik memukul Raka dengan keras. Beberapa kali Raka tersungkur dan bangkit dengan tertatih. Dengan terhuyung Raka menghantam wajah Dira. Dan Dira yang sudah kalap juga memukul tubuh Raka dengan kuat hingga ia terpelanting jauh di rerumputan.

"Sudah, Dir! Sudah...! Jangan berkelahi lagi!" Suara Tania terdengar menengahi kegaduhan mereka.

Raka bangkit dengan sakit di sekujur tubuhnya. Semakin terasa sakit saat melihat Tania lebih memperhatikan Dira. Ternyata benar, Tania sama sekali tidak mencintainya.

Raka beringsut dengan mata memar. Hidungnya berdarah dan pelipisnya sobek. Ia sempoyongan di antara semak belukar. Berjalan tertatih dengan langkah yang tidak teratur. Dan mendadak saja ia tergelincir di bebatuan. Terperosok jatuh di dasar bukit. Terguling hingga terpental dan akhirnya terlentang tak sadarkan diri. Ranting-ranting kecil dan berduri menyayat jaket parasutnya.

Jeritan keras Raka membelah sunyi malam di hutan pinus. Bella tercengang di depan unggun yang masih berkobar. Ia bangkit berdiri dan segera mencari asal suara yang telah mengisi hatinya sekian lama.

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 2)

Chapter 2
Cinta Bella


Kabut tipis mulai menyelimuti hutan-hutan kecil di lereng bukit. Angin dingin menusuk tulang hingga ke ulu hati. Pohon-pohon pinus masih basah dan lembab. Api unggun mulai meninggalkan bara berwarna kemerahan. Dengan asap menjulang tinggi.

Di gasebo kecil Raka termangu. Memperhatikan siluet pinus yang berjejer rapi. Bak raksasa yang sangat menakutkan. Sesekali ia mendekap jaket parasutnya. Sambil teringat dengan seorang gadis yang pernah mencuri perhatiannya. Tania, nama gadis itu. Mahasiswi ekonomi di sebuah universitas swasta.

Pertemuan itu memang begitu singkat. Di sebuah toko buku. Saat Raka menabraknya tanpa sengaja, dan gadis itu memaki-maki Raka seenak hatinya. Raka pun berang dan membalas makian kecil itu. Dan ternyata mereka bertemu lagi di salah satu universitas di Jakarta. Pertemuan itu membuat Raka terbayang-bayang dengan gadis judes yang menghardiknya. Kebencian itu pun timbul dengan sendiri. Raka mengolok-olok si Gadis di depan umum. Bahkan di depan mahasiswa lainnya.

Namun kebencian itu mendadak berubah menjadi sebuah kerinduan di hati Raka. Raka berkali-kali mencoba merayunya. Meminta maaf kepada si Gadis. Tapi si Gadis menolaknya mentah-mentah. Ia sama sekali tidak mempedulikan Raka. Meski Raka sangat mengharapkan cinta sang Gadis, namun tetap saja ditolak.

Hal itu membuat Raka sakit hati. Perih rasanya. Terasa kabut-kabut tipis menyelubungi relung hatinya. Entah mengapa kabut-kabut itu semakin menebal, rasanya.

Raka mendesah pelan. Desahan angin menghapus tubuhnya yang beku. Gesekan angin membuat dahan-dahan pinus bergoyang dan riuh dengan suara yang syahdu. Saat menikmati semilir angin, sebuah tangan tiba-tiba saja menutup mata Raka dari belakang. Raka tercekat merasakan tangan dingin yang menutup kedua matanya.

"Dira!" tebaknya asal.

Namun si pemilik tangan diam saja.

Raka berusaha menebaknya lagi. Mungkin hal ini keisengan teman-temannya. "Fadlan! Lepasin, dong," tebak Raka lagi.

Namun lagi-lagi orang di belakangnya itu diam saja. Raka mengulurkan tangannya dan menebak lagi. Namun tidak ketebak.

"Aduh, siapa sih. Jangan bercanda terus, dong," seru Raka menyerah.

Kemudian tangan itu pun membuka matanya dengan perlahan.

"Hei! Bengong aja," sapa seseorang padanya.

Raka mengucek-ucek matanya. Melihat seseorang di depannya dengan terpana.
"Bella?" gumamnya.

Gadis itu tersenyum. Duduk di depannya kemudian.

"Kamu kenapa sih, Rak. Melamun terus. Kamu lagi kasmaran, ya?" selidik Bella.

"Ah, nggak kok. Aku nggak melamum."

"Sudah, jangan bohongi aku. Buktinya, dari tadi aku perhatiin, kamu bengong terus. Aku tahu ada seorang gadis yang mencuri perhatianmu. Siapa sih dia?"

Raka terbelalak sambil menelan air liurnya.

"Melamun? Melamunkan siapa?"

"Udah deh, nggak usah bohong lagi."

Raka mengerinyitkan keningnya. "Kamu tahu dari mana?"

"Aku sudah membaca semua buku catatan harian kamu. Maaf ya, kalau aku lancang."

"Bel...! Ja-jadi... kamu.... " Raka menatap wajah Bella dengan lekat, seperti tidak percaya atas pendengarannya sendiri.

"Maaf, aku nggak sengaja, Rak. Kamu marah?"

Raka diam. Hening. Namun hanya sesaat.

"Siapa Tania? Kamu mengenalnya?" tanya Bella memecahkan keheningan

"Hm, dia anak ekonomi."

Bibir Bella membulat. "Oo."

Hening lagi. Perasaan Bella tercabik-cabik. Sesungguhnya dia sangat mengharapkan Raka menjadi kekasihnya. Namun Raka tidak pernah menggubris perasaan itu. Meski perhatian yang diberikan Bella sangat lebih untuk Raka, Raka seakan tidak peduli.

Tak berapa lama Raka beringsut dari duduknya. Angin dingin semakin menggila seakan menghunus jantungnya.

"Aku pergi dulu, ya. Aku ngantuk," ucap Raka sambil berlalu meninggalkan Bella yang terpaku.

"Tapi, Rak. Tunggu... jangan tinggalkan aku dong, Rak."

"Udah deh, besok aja ngobrolnya," tolak Raka apatis (tanpa perasaan).

Bella terpaku. Kali ini hatinya seolah terhempas ke dalam cadas-cadas yang tajam. Namun Bella dengan sabar hati menunggu kepastian yang tak pasti. Meski berkali-kali hatinya tersayat pedih karena Raka memikirkan gadis lain, Bella tetap saja memberi perhatian penuh terhadap Raka.

Bella terpaku memperhatikan Raka yang meninggalkannya begitu saja. Malam seakan menghadirkan giris sunyi yang luar biasa. Tak terasa airmatanya menitik. Dan setiap begitu, maka ia hanya dapat menuangkan baur perasaannya lewat lembar-lembar buku diarinya. Di sana, ia menaburkan kalimat dalam bentuk puisi. Puisi cinta buat Raka.

Ketika hasrat hatiku
mendambakan dirimu
namun bayanganmu
hanya terlintas dalam angan dan mimpiku

Aku begitu mendambakanmu
mengharap kau merajut benang cintaku
agar menjadi sebuah sutra
yang indah dalam hatiku
dan terlukis sejuta namamu

(Di sudut kamar-Bella Raflesia)


Bella meremas buku diari yang senantiasa menyertainya kemana pun ia pergi. Hatinya masih berdarah dalam penantian. Pemuda itu terlalu angkuh di dalam obesesinya. Dipandanginya jelaga langit. Gemintang bermain mata dalam kerlap-kerlip abadinya. Mereka indah namun tak tergapai tangan. Seperti itulah Raka sekarang. Ia gemintang yang tak terjamah!

Kabut Obsesi Cinta (Chapter 1)

Chapter 1
Cinta Yang Tak Terlihat


Hai, namaku Raka Samudera. Aku mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Aku memiliki histori cinta yang ingin kusampaikan kepada sahabat semua. Well, mungkin ini cuma roman picisan. Maybe, kisah cinta klise. Entahlah. Namun aku merasa perlu menceritakannya sebab aku tidak ingin sahabat semua terpuruk di dalam 'kasus' cintaku yang miris. Ya, miris. Sebab selama ini, aku sudah dibutakan oleh obsesi cinta sehingga tak mampu melihat arti cinta yang sesungguhnya itu sendiri. Aku terkungkung dan terpenjara oleh obsesi meski di lain pihak, ada cinta lain yang justru merupakan cinta yang nyata dan sejati.

Cinta itu bernama Bella Raflesia. Dia adalah teman sekampusku. Dia telah lama mencintai aku dengan sepenuh hati. Namun aku dibius oleh obsesi dan kecantikan Tania Aryani sehingga melalaikan Bella. Aku terus ingin menggapai gadis obsesiku, meski ia serupa gemintang yang tak terjamah. Hei, betapa bodohnya aku, mengharap gemintang penerang temaram hatiku sementara ada pijar kecil yang senantiasa bersinar untukku lewat pelita cinta Bella.

Betapa naifnya aku. Seharusnya aku sudah diganjar karma dari obsesiku sendiri. Namun cinta sejati Bella yang kutampik justru mengulurkan tangannya. Diberikannya aku bahunya untuk bersandar dan menangis. Dan diberikannya satu tempat yang paling istimewa di hatinya. Selamanya. Ya, selamanya.

Kabut Obsesi Cinta (Sinopsis)

Created By Sweety Qliquers
(Samarinda,Kamis_280110,0403PM)


Kabut Obsesi Cinta
Chapter 1 Cinta Yang Tak Terlihat
Chapter 2 Cinta Bella
Chapter 3 Cinta Tania Untuk Dira
Chapter 4 Raka Dan Bella


Sinopsis
Raka Samudera (Raka) adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Selama ini, ia sudah dibutakan oleh obsesi cinta sehingga tak mampu melihat arti cinta yang sesungguhnya itu sendiri. Ia terkungkung dan terpenjara oleh obsesi meski di lain pihak, ada cinta lain yang justru merupakan cinta yang nyata dan sejati.

Ia terus mencoba menggapai gadis obsesinya, meski sang ‘Gadis Obsesi’-Tania Aryani serupa gemintang yang tak terjamah. Betapa bodohnya Raka, mengharap gemintang penerang temaram hatinya sementara ada pijar kecil yang senantiasa bersinar untuknya lewat pelita cinta Bella Raflesia (Bella).

Setelah memergoki Dira-sahabatnya sedang bermesraan dengan gadis pujaannya-Tania Aryani, Raka meraka sakit hati dan kecewa. Akankah Raka tetap menunggu gemintang yang tak terjamah lewat cinta Tania akan berpaling padanya? Ataukah ia akan menerima pijar kecil yang senantiasa bersinar untuknya lewat pelita cinta Bella?


Karakter Tokoh Kabut Obsesi Cinta
Raka Samudera (Raka)
Raka Samudera (Raka) adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Selama ini, ia sudah dibutakan oleh obsesi cinta sehingga tak mampu melihat arti cinta yang sesungguhnya itu sendiri. Ia terkungkung dan terpenjara oleh obsesi meski di lain pihak, ada cinta lain yang justru merupakan cinta yang nyata dan sejati.

Ia terus mencoba menggapai gadis obsesinya, meski sang ‘Gadis Obsesi’ serupa gemintang yang tak terjamah. Betapa bodohnya Raka, mengharap gemintang penerang temaram hatinya sementara ada pijar kecil yang senantiasa bersinar untuknya lewat pelita cinta Bella Raflesia (Bella).

Bella Raflesia (Bella)
Bella Raflesia (Bella) teman sekampus Raka Samudera (Raka). Dia telah lama mencintai Raka dengan sepenuh hati. Namun Raka yang telah dibius oleh obsesi dan kecantikan Tania Aryani (Tania) sehingga melalaikan Bella.

Walaupun cinta sejati Bella selalu diabaikan Raka, tetapi ia tetap mengulurkan tangan untuk Raka. Ia memberikan bahunya untuk Raka bersandar dan menangis. Dan memberi Raka satu tempat yang paling istimewa di hatinya. Selamanya. Ya, selamanya.


Tania Aryani (Tania)
Gadis obsesi Raka Samudera (Raka). Gadis yang dianggap Raka Samudera (Raka) sebagai gemintang penerang temaram hatinya yang tak terjamah. Dan ternyata Tania Aryani (Tania) adalah kekasih sahabat Raka Samudera (Raka), Adira Aryastya (Dira).


Adira Aryasatya (Dira)
Sahabat Raka Samudera (Raka), yang dianggap Raka Samudera (Raka) teman makan teman. Ternyata Tania Aryani (Tania)-kekasihnya adalah Gadis yang selama ini dicintai Raka Samudera (Raka)

Sepotong Kalimat Cinta (Chapter 3-Tamat)

Chapter 3
Sepotong Kalimat Cinta


Besok paper Biologi ini dikumpulkan. Tadi siang di sekolah Dimas mengembalikannya. Tugasku ini — seperti biasa — selesai lebih cepat. Aku memang bukan siswi yang suka menunda pekerjaan, dan kali ini kurasakan betul manfaatnya.

Aku membuka paperku dengan berjuta perasaan. Ah, kira-kira apa ya pendapat Dimas tentang pekerjaanku ini? Ge-er dikit boleh kan kalau Dimas yang cukup pintar itu sampai meminjam punyaku?

Aku mengerutkan kening tiba-tiba. Heran, biasanya dia jujur. Nggak suka nyontek, baik ulangan atau pe-er. Tapi kali ini kenapa minjem paper orang lain, ya? Aku bertanya-tanya sendiri.
Aku menutup paperku dengan gerakan lambat, benakku masih dipenuhi sosoknya yang menarik itu. Eh! Aku mengerutkan kening lagi. Ada selembar kertas yang jatuh.

Aku memungut kertas itu. Ada tulisan tangan di sana.

Boleh kan aku menyukaimu?
Dimas.

Astaga!

Berulangkali kubaca sebait kalimat yang ditulis dengan teramat rapi itu. Aku hampir tak dapat mempercayainya. Jadi untuk itu Dimas meminjam paperku?

Untuk menyelipkan pernyataan cintanya? S-u-k-a? Dimas suka padaku?! Aku bertanya-tanya sendiri. Tapi, kenapa?

Beberapa saat kemudian baru aku menyadari kebodohanku. Tentu saja! Kalau aku bisa menyukainya, kenapa tak dapat terjadi sebaliknya? Apakah memang cinta perlu dipertanyakan?
Aku tersenyum manis dengan hati penuh asa berlimpah. Semua yang terjadi, bagiku bagaikan sebuah mimpi saja. Tapi seandainya memang benar hanya mimpi, sungguh, inilah mimpi paling indah yang pernah kualami.



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.dindasweet-86.blogspot.com

Sepotong Kalimat Cinta (Chapter 2)

Chapter 2
Dimas Oh Dimas


Hup. Kuletakkan tumpukan buku tentang serangga yang kucari susah-payah di rak-rak. Heran, Guru Biologi kok mau-maunya baca satu per satu paper anak-anak tentang makhluk menakutkan itu. Atau barangkali di rumah beliau bahkan memelihara ya? Ups, aku menegur diriku sendiri. Kalau sampai kedengaran... bisa-bisa aku tinggal kelas!

"Hai, Lea, cari apa?"

Aku menoleh. Itu Mitha, anak kelas sebelah. Gawat, semoga dia ingat ini perpustakaan. Sama seperti Adel, Mitha menyenangkan tapi agak cerewet.

"Tugas Bio," sahutku singkat.

"Kurasa minggu depan giliran kelasku," keluhnya. "Pasti paper lagi, ya?"

"Yap." Aku mengangguk. Kulirik Mitha duduk di sampingku yang memang ada kursi kosong.

"Eh, Dimas sudah buat belum ya? Kamu sekelas dengannya, kan?"

"Yap. Tapi aku nggak tahu dia sudah bikin apa belum." Aku menjawab dengan sedikit perhatian. Tuh kan, anak kelas sebelah juga menaruh perhatian pada Dimas. Mitha juga. Cowok keren kenapa selalu gampang ketahuan? Lebih hebat lagi, kenapa cowok keren bisa membuat cewek-cewek jadi aktif?

Barangkali zaman memang sudah berubah ya, dan aku saja yang masih ketinggalan. Lebih suka pura-pura cuek, padahal....

"Kamu kok tahu di kelasku ada cowok keren?" gumamku pelan.

"Apa?" Mitha mendekat. "Kamu tadi bilang apa?"

"Nggak!" Aku menyahut cepat ketika menyadari aku kelepasan bicara. Ups, hampir saja!

"Eh, Dimas itu cakep, ya?" Mitha berkata nyaris menyerupai bisikan.

"Yap. Semua bilang begitu," kataku sambil tetap menekuni buku-buku di hadapanku.

"Juga pinter."

"Yap."

"Tinggi dan tegap."

"Yap."

"Berwibawa. Ketua kelas, kan?"

"Yap."

"Jago basket... sudah punya pacar belum?"

"Yap. Eh, mana aku tahu?" Aku mengangkat bahu. Lagi-lagi, pura-pura cuek saja.

"Eh, itu dia!" Suara Mitha berubah penuh semangat. Di sudut ruang, dari balik komputernya kulihat Bu Retno yang petugas di sini mengacungkan telunjuknya sambil membelalakkan mata ke arah kami. (Kurasa aku berhak protes. Yang ribut kan Mitha!)

"Dia kemari!"

"Sstt...." Kali ini aku yang memperingatkan Mitha. (Biar Dimas nggak curiga kalau aku sebetulnya juga ikutan histeris.)

"Lea, paper biologimu sudah selesai belum?"

Ups. Kurasa jantungku berdetak dua kali lebih keras. Aku menggeleng. "Belum."

"Itu bahan-bahan referensi, ya?" Dimas menunjuk beberapa buku di atas meja di depanku.
"
Ya." Mitha yang menjawabkan untukku.

"Kalau sudah selesai boleh pinjam?"

"Eh?" Aku menaikkan kedua alisku. Kulihat Dimas menatapku dengan sepasang matanya yang berbinar dan bagus.

"Papernya."

"Oh." Aku mengangguk, kikuk. "Tentu."