Chapter 1
Kepulangan Aira
Pesawat mendarat pukul empat sore di Bandara Adisucipto Yogyakarta. Aira bergegas menghadang sebuah taksi yang bertengger di parkiran bandara. Beberapa saat kemudian Aira membuka pintu taksi dan masuk kedalam. Menjatuhkan pantatnya di jok empuk.
Aira duduk termenung. Setelah lima tahun kepergiannya untuk melanjutkan studi di Jakarta kini ia kembali ke Yogyakarta. Banyak kenangan manis yang masih tersisa. Terlebih terhadap seseorang yang selama ini ia mimpikan. Orang itu adalah Alvian, sahabat Aira sejak kecil. Di saat mereka masih bersama di sebuah perumahan di bilangan Yogyakarta Kota. Masa kanak-kanak yang sangat menyenangkan. Dan betapa kerinduan itu telah menggerogoti hatinya. Diam-diam ia juga mencintai Alvian.
Sore itu Aira tiba di rumah. Rumah model mediterania yang dibangun Papanya masih berdiri kokoh dengan tembok bercat putih. Bunga-bunga kecil yang tumbuh di halaman masih subur, meski letaknya tidak sesuai dengan lima tahun lalu. Pekarangan rumahnya tertata rapi dan asri. Mama memang selalu membersihkannya.
Sesaat Aira terkenang dengan Papa tercinta. Matanya merebak basah. Kini Papa telah tiada. Papa telah pergi dan takkan pernah kembali. Aira terisak, kala sekelibat kenangan indah bersama Papa melintas kembali di benaknya. Kenangan yang tidak dapat dilupakannya.
Beberapa tahun yang lalu Papa dihantarkan ke tempat peristirahatan yang kekal dan abadi, menghadap Ilahi. Sudah menjadi hukum alam dan dunia. Tak seorang pun yang dapat menghalanginya. Semua pasti bermuara kepada-Nya. Ada virus yang menggerogoti otak Papa. Papa terserang kanker otak. Dan di ruang Gawat Darurat rumah sakit Papa menghembuskan napas yang terakhir kalinya.
Rasa sesak di hati Aira masih menjadi belenggu, kian hari mengusik dan masih bergelut menghadapi cobaan yang mahaberat tersebut.
"Ya, Allah, aku sudah ikhlas. Walau Papa adalah orang yang paling aku sayangi, namun ia adalah titipan-Mu. Engkau lebih menyayanginya. Tempatkanlah ia di sisi-Mu ya, Allah...." tutur Aira dalam hati.
Beribu kali kata itu terucap dalam kalbunya, namun beribu kali pula bayangan Papanya menggodanya.
Perlahan Aira membuka pintu gerbang rumahnya. Kemudian menekan bel yang terletak di samping rumahnya. Bel itu masih seperti lima tahun yang lalu. Tak berapa lama, seorang pembantu separuh baya pun membukakan pintu. Menyambut kedatangan Aira yang dianggap sangat mengejutkan. Aira hanya tersenyum memperhatikan Mbok Darmi yang sudah mulai keriput. Wanita tua itu sudah bekerja belasan tahun bersama keluarganya.
Setelah berkangen-kangenan dan peluk-pelukan, Aira pun menghampiri kamarnya. Pelan ia membuka pintu kamarnya. Masih seperti lima tahun lalu. Bersih dan terawat rapi. Mbok Darmi selalu membersihkannya. Di sana, ia menemukan boneka kesayangannya. Boneka itu hadiah dari Alvian saat mereka duduk di bangku SMP.
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar