Kamis, 17 Desember 2009

Mendung Di Suatu Senja (4)

Chapter 4
Mak Comblang

Sejak pertemuannya dengan Rendy, Helen menjadi lebih rajin main ke rumahku. Awalnya, aku tak berprasangka apa-apa. Tapi sore ini, kata-kata Helen hampir membuatku panas.

”Tolong ya, Beb. Gue naksir berat sama dia.”

”Iya, entar gue coba. Lo tenang aja deh.” Kataku sambil menahan emosi. Ya, Tuhan! Bagaimana mungkin aku menjadi mak comblang bai mereka? Bagaimana mungkin aku merelakan Rendy yang kucintai diam-diam jatuh ke tangan cewek lain? Tapi, aku sudah berjanji. Dan janji itu harus ditepati. Ah... seandainya dulu aku berterus terang, pasti keadaannya berbeda.

”Gue pasti bahagia banget deh, Beb. Kalo’ Rendy jadi cowok gue, gue pasti nggak bakalan kesepian lagi. Ternyata gue butuh pacar bukan seorang sahabat sejati.” Helen berkata dengan mata menyimpan sejuta mimpi. Tuhan, rupanya aku memang harus membiarkan Rendy menjadi milik Helen. Helen haus kasih sayang, cinta dan perhatian. Dia lebih pantas menerima semua itu. Ya, inilah saatnya aku harus meberikan sesuatu untuk menghalau duka Helen, walaupun ada yang patah di dalam sini.

Tetapi, sebelum aku melaksanakan aksi ’Mak Comblang’ ku. Rendy telah memberi surprise untukku. Dan aku tak tahu apakah harus menangis atau tertawa? Apakah aku harus menerima pernyataan cintanya? Kebimbangan seperti mengepungku dari berbagai arah. Aku menyayangi Helen seperti saudara kandung sendiri, tapi aku juga mencintai Rendy. Haruskah kubiarkan Helen menelan kekecewaan sementara aku larut dalam kebahagiaan bersama Rendy? Bagaimana ini, belum pernah aku dihadapkan pada situasi yang begitu rumit.

”Sorry Ren, gue nggak bisa jadi cewek lo.” Dengan menguatkan hati, aku mengambil keputusan itu. Ya, aku harus berkorban semi Helen. Biarlah aku yang menelan kekecewaan ini asalkan Helen mendapatkan kebahagiaan. Helen sudah terlalu banyak menderita, kini saatnya ia merasakan setetes air kebahagiaan.

”Lo pasti bohong, Beb. Sinar mata lo itu, nggak bisa ngebohongin gue.” Kata Rendy dengan mata memendam kecewa.

”Kenapa Beb? Kenapa...”

”Rendy kita Cuma bersahabat, nggak lebih dari itu.” Kualihkan pandanganku ke arah luar. Sungguh, aku tak sanggup menatap mata bening itu. Aku tak sanggup melihat pijar kecewa di matanya.

”Gue nggak ngerti, Beb.” Rendy menghela napas panjang.

”Gue pikir keakraban kita, bakalan memudahkan gue buat ngedapetin lo. Tapi nyatanya, lo begitu sulit untuk gue dapetin. Angan-angan gue selama ini ternyata udah pupus. Pupus...”

”Rendy.” Kusentuh tangannya.

”Lebih baik lo menerima sepotong cinta yang udah menanti lo.” Kurasakan bibirku bergetar ketika mengucapkannya.

”Apa maksud lo, beb?” Rendy bertanya bingung.

”Helen. Dia... dia cinta sama lo.” Serasa remuk hati ini saat mengatakannya. Tetapi aku berusaha untuk tetap tegar. Jangan sampai Rendy tahu isi hatiku yang sebenarnya.

”Lo pengen gue mencintai Helen?”

Aku mengangguk, menatap Rendy penuh harap. ”Kalo’ Lo emang cinta sama gue, kabulin permintaan gue. Helen butuh lo, Ren. Sejak kecil Helen nggak pernah merasakan apa itu cinta dan kasih sayang. Papa dan Mamanya selalu sibuk dan nggak pernah rukun. Dan malah sekarang orang tuanya sudah bercerai. Ren please, kenapa lo nggak coba ngasih cinta lo buat Helen?”

”Beb, Lo pikir cinta itu apa?! Mainan?! Nggak Beb! Walaupun gue cinta mati sama lo, gue nggak bakalan ngabulin permintaan gila lo itu. Helen bakalan lebih kecewa lagi kalo’ dia tahu gue mencintai dia karena terpaksa.” Rendy menatapku tajam. Aku seperti ditikam dengan tatapannya.

”Gue Cuma cinta sama lo, Beb.” Sura Rendy melembut. Digenggamnya jemariku.

”Kenapa sih Lo harus nyakitin diri sendiri Cuma buat seorang sahabat? Kenapa Beb???”

”Gue nggak pernag cinta sama lo, Ren! Nggak pernah!” Kegelengkan kepala sambil menggigit bibirku. Aku nggak boleh nangis. Aku harus kuat!

”Munafik! Lo munafik, Beb!” Dengan kasar, Rendy melepaskan genggamannya.

”Bilang, bilang... kalo’ lo mencintai gue!” Kata Rendy sambil mengguncang bahuku.

”Gue nggak bisa, Ren...” Kataku lirih.

”Cuma Helen yang cinta sama lo.”

”NGGAKKK!” Terdengar jeritan panjang. Aku menoleh. Helen! Dia berdiri mematung di depan pintu ruang tamu. Matanya basah. Bibirnya bergetar menahan tangisnya agar tak terisak.

”Jangan paksa Rendy, Beb.” Kata Helen lirih.

”Helen, gue...”

”Terima kasih buat semua kebaikan lo.” potong Helen lalu berlari meninggalkan rumahku. Pintu pagar dibukanya dengan kasar.

”Helen! Tunggu!” Teriakku berusaha mengejarnya tapi... Ya, Tuhan! Decit ban mobil dan lengkingan Helen bagai palu menghantam kepalaku.

”HELEN!” Kupeluk tubuh bersimbah darah yang tergeletak di aspal itu.

”Maafin gue, Len.” Kuciumi kening yang berlumuran darah itu.

”Gue Cuma pengen lihat lo bahagia.” Air mata membanjiri wajahku.

”Lo... ng...ng...gak sa... sa..lah Beb.” Lemah, jemari Helen membelai pipiku.

”Gu...gue su... su...dah denger se...mmua...nya. Gu...gue per...gi ya Beb. Se...sse...lamat ting...gal.” Tangan Helen terkulai jatuh dan tak bergerak lagi.

”Helen, lo nggak boleh pergi!” Helennn...” Sekelilingku mendadak gelap Gelap dan sepi.

Aku terbangun ketika mendengar seseorang memanggil namaku.

”Beby...”

Kukerjapkan mataku. Helen??? Dia berdiri di samping tempat tidurku. Wajahnya tampak lebih cantik dan berseri. Dan dia mengenakan gaun putih yang panjang menutupi kaki. Bibirnya tersenyum manis sekali.

”Gue sudah nemuin sahabat sejati, Beb.” Kata Helen sambil tetap tersenyum.

”Dia selalu nemenin gue dimana dan kapan aja. Dia selalu ada didekat gue. Gue bahagia banget, Beb. Gue udah nggak kesepian lagi. Di tempat gue sekarang, nggak ada duka dan airmata. Gue pengen banget ngajak lo ke rumah gue yang baru, tapi dia bilang belum saatnya.”

”Gue juga pengen tinggal disana juga, Len. Gue nggak mau berpisah sama lo.” Kataku sambil memegang tangan Helen.

”Jangan, Beb. Lo nggak kasihan sama rendy? Lo cinta kan’ sama dia?”

”Tapi, Len...”

”Gue pergi ya, Beb. Semoga lo bahagia sama Rendy.” Tiba-tiba tubuh Helen terangkat ke atas. Dia melambaikan tangan. Aku ingin mengejarnya tapi tubuhku terasa kaku.

”Helen... Helen... gue ikut...” Aku menggapai-gapai tangannya.

”Beby...” Ada yang berbisik di telingaku. Aku membuka mata. Mama duduk di samping tempat tidur. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Di dekat pintu, ada Papa dan Rendy. Mana Helen? Ah, aku ingat sekarang... Helen sudah pergi. Jadi, tadi itu hanya mimpi?

”Mama...” Aku mendekap tubuh Mama erat.

”Helen udah pergi, Ma. Helen...” Aku terisak dalam pelukan Mama.

”Sudah Beb, jangan kamu tangisi Helen. Di sudah tenang disana.” Mama membelai rambutku lembut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar