Chapter 2
Bella Oh Bella
Ya, begitulah Bella. Orangnya keras, adatnya pedas. Kalo dia lagi ngambek lantaran pendekatan gencar yang Gue lakukan tanpa embel-embel malu-maluin. Jadi deh mukanya kayak cabe yang siap diulek buat dijadiin sambel terasi. Lagaknya segalak macan ompong. Karena kekerasan hatinya itu pula maka sampe kini Gue nggak kesampaian ngerebut hatinya. Entah terbuat dari batu apa hatinya itu.
Padahal, berani sumpah pocong deh, Gue sudah berkorban banyak untuk dia. Seluruh waktu dan hidup Gue nyaris hanya tercurah ke dia. Ke mana-mana dan di mana-mana, di benak dan hati Gue ya cuma ada dia. Dia tok!
Tapi, ya itulah Bella. Meski Gue bersujud di bawah telapak kakinya buat ngemis-ngemis cintanya pun, Gue nggak bakalan terima. Kurun waktu yang lama telah ngebuktiin kalo dia tuh, idealis banget. Alasannya setiap kali nolak Gue, dia bilang begini:
"Eh, Chico, kita tuh mending berteman aja. Misalnya nanti kita sejodoh, toh pada dasarnya kita pasti akan bersatu."
Lantas setiap kali dia ngucapin kalimat itu, maka Gue hanya dapat menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit seperti kopi. Ah, Bella-Bella, sebetulnya apa sih, kekurangan Gue? Padahal Gue kan, nggak jelek-jelek amat bila dibandingkan dengan pesaing-pesaing Gue. Bahkan, konon Gue adalah cowok yang tercakep dibandingkan para penghuni di bonbin (Kebun Bintang)!
Atau, mungkin Bella meragukan cinta Gue? Itu yang sering Gue lontarkan padanya bila sudah kecewa banget. Tapi apa tanggapannya?
Dia bilang gini, "Chico, Chico. Lo ini gimana, sih? Lo tuh sahabat Gue. Jadi Gue nggak perlu meragukan cinta Lo sebagai seorang teman lagi. Lo baik, sangat baik sebagai seorang sahabat. Oke?"
Ups! Kalimat. Just a friend! Itu yang nggak Gue inginkan. Itu yang paling Gue beeeenciii....
Tapi apa mau dikata lagi? Bella memang nggak mencintai Gue. Gue sadar itu. Sebab dia menolak Gue, itu jelas. Sebab ada nama dan wajah lain yang mengisi ruang hatinya. Yang pasti, someone special itu bukan Gue. Karena Bella....
Ah, forget it! Malam ini Gue mesti bobo, karena besok Gue harus kuliah pagi-pagi sekali. Gue hanya berharap seperti malam-malam yang kemarin, semoga Bella dapat mengubah pendiriannya yang setegar batu karang. Atau, biar jodoh yang bicara seperti yang selalu dia katakan. Kalo kita sejodoh, toh pada dasarnya kita pasti akan bersatu.
Yap, mungkin.
Huaaam... Gue ngantuk berat.
Gue lihat di luar jendela saat Gue rebahkan kepala di bantal. Langit kelam berjelaga awan hitam. Hati Gue sunyi dan hampa seperti langit yang nggak berbintang itu. Selanjutnya ada lara yang bersenandung di sana. Nggak Gue tahu persis lagu dan irama apa. Hanya titik-titik airmata Gue yang bisa menjawabnya.
Bella Oh Bella
Ya, begitulah Bella. Orangnya keras, adatnya pedas. Kalo dia lagi ngambek lantaran pendekatan gencar yang Gue lakukan tanpa embel-embel malu-maluin. Jadi deh mukanya kayak cabe yang siap diulek buat dijadiin sambel terasi. Lagaknya segalak macan ompong. Karena kekerasan hatinya itu pula maka sampe kini Gue nggak kesampaian ngerebut hatinya. Entah terbuat dari batu apa hatinya itu.
Padahal, berani sumpah pocong deh, Gue sudah berkorban banyak untuk dia. Seluruh waktu dan hidup Gue nyaris hanya tercurah ke dia. Ke mana-mana dan di mana-mana, di benak dan hati Gue ya cuma ada dia. Dia tok!
Tapi, ya itulah Bella. Meski Gue bersujud di bawah telapak kakinya buat ngemis-ngemis cintanya pun, Gue nggak bakalan terima. Kurun waktu yang lama telah ngebuktiin kalo dia tuh, idealis banget. Alasannya setiap kali nolak Gue, dia bilang begini:
"Eh, Chico, kita tuh mending berteman aja. Misalnya nanti kita sejodoh, toh pada dasarnya kita pasti akan bersatu."
Lantas setiap kali dia ngucapin kalimat itu, maka Gue hanya dapat menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit seperti kopi. Ah, Bella-Bella, sebetulnya apa sih, kekurangan Gue? Padahal Gue kan, nggak jelek-jelek amat bila dibandingkan dengan pesaing-pesaing Gue. Bahkan, konon Gue adalah cowok yang tercakep dibandingkan para penghuni di bonbin (Kebun Bintang)!
Atau, mungkin Bella meragukan cinta Gue? Itu yang sering Gue lontarkan padanya bila sudah kecewa banget. Tapi apa tanggapannya?
Dia bilang gini, "Chico, Chico. Lo ini gimana, sih? Lo tuh sahabat Gue. Jadi Gue nggak perlu meragukan cinta Lo sebagai seorang teman lagi. Lo baik, sangat baik sebagai seorang sahabat. Oke?"
Ups! Kalimat. Just a friend! Itu yang nggak Gue inginkan. Itu yang paling Gue beeeenciii....
Tapi apa mau dikata lagi? Bella memang nggak mencintai Gue. Gue sadar itu. Sebab dia menolak Gue, itu jelas. Sebab ada nama dan wajah lain yang mengisi ruang hatinya. Yang pasti, someone special itu bukan Gue. Karena Bella....
Ah, forget it! Malam ini Gue mesti bobo, karena besok Gue harus kuliah pagi-pagi sekali. Gue hanya berharap seperti malam-malam yang kemarin, semoga Bella dapat mengubah pendiriannya yang setegar batu karang. Atau, biar jodoh yang bicara seperti yang selalu dia katakan. Kalo kita sejodoh, toh pada dasarnya kita pasti akan bersatu.
Yap, mungkin.
Huaaam... Gue ngantuk berat.
Gue lihat di luar jendela saat Gue rebahkan kepala di bantal. Langit kelam berjelaga awan hitam. Hati Gue sunyi dan hampa seperti langit yang nggak berbintang itu. Selanjutnya ada lara yang bersenandung di sana. Nggak Gue tahu persis lagu dan irama apa. Hanya titik-titik airmata Gue yang bisa menjawabnya.
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.dindasweet-86.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar