Chapter 6
Kembalinya Pram
“Kita nggak bisa ketemu lagi, Pram.” Ujar Kirana kepada Pram sesampainya dia di sebuah café, tempat mereka biasa bertemu kencan dulu ketika mereka masih bersama. Separuh jiwanya terasa terbang dan hilang saat kata-kata itu diucapkannya.
“Kenapa? Radit melarangmu?”
“Dia nggak tahu apa-apa.”
“Kenapa kamu terus memikirkan dia, Ran. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kamu sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kamu cintai, sedangkan denganku kamu bisa mendapatkan semuanya!”
Kirana menggigit bibirnya di saat setetes air bergulir di pipinya.
“Ran, akuilah. Hidupmu baru akan terasa lengkap bila bersamaku. Begitu pula dengan aku, aku hanya bisa menemukan separuh hatiku hanya padamu. Ok! Aku sadar. Mungkin selama ini aku terlalu egois, selalu memaksakan kehendakku padamu. Tapi itu semua bukan sepenuhnya kesalahanku. Kalau saja pada saat itu kamu tidak menolak ajakkanku untuk ke Jerman, sekarang kita pasti bahagia. Dan kamu pun bisa meniti karirmu bersamaku di sana. Tapi saat itu kamu menolaknya Ran, kamu menghancurkan masa depan kita. Kamu lebih memilih karirmu di sini. Huh… seandainya saja dulu aku lebih berusaha sekuat tenagaku untuk meyakinkanmu tentang cintaku padamu. Mungkin sekarang kita tak akan seperti ini. Tapi sudahlah itu semua sudah berlalu, kita mulai saja dari awal lagi. Tanpamu selama ini aku sendirian hampa, tanpa nyawa, cacat, timpang. Dan aku baru akan merasakan hidup bila kita bersama. Dengan Radit kamu tidak punya apa-apa Ran, masa depan sekalipun. Tetapi denganku, kamu akan memiliki segalanya…”
“Hentikan!” Potong Kirana dengan suara bergetar.
“Kalau kamu minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kamu hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kamu tahu aku takkan semudah itu untuk mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kamu mau kembali denganku.”
“Aku nggak bisa….”
“Kenapa nggak?”
“Ya, kenapa nggak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan, menyenangkan memang. Tapi tetep aja ini Cuma sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat banget buat mutusin? Apa gue cinta ama Radit? Atau memang gue Cuma ngerasa kasihan ama Radit?” Batin Kirana.
“Kamu tidak mencintai Radit, Ran. Kamu berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kamu tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kamu simpan untuknya Cuma rasa iba, karena dia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan dia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai laki-laki lain.”
“Aku….”
“Akuilah Ran, kamu mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”
Kirana bingung harus berkata apa lagi, ini dilema bagi dirinya. Seluruh tubuhnya terasa terbakar dan lunglai. Baginya dunia seperti berputar makin cepat. Dipejamkannya mata dan menghela napas panjang.
“Aku tidak mencintaimu, Pram.” Gumam Kirana.
“Lebih keras lagi.”
“Aku tidak mecintaimu.”
“Kamu bohong.”
Lama sekali Kirana terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, “Ya.”
“Ran,” suara Pram bergetar. “Aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia.”
Kirana tahu sejak awal permainannya dengan Raditya akan berakhir, cepat atau lambat. Tetapi hatinya tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa ia harus bicara pada Raditya tentang perpisahaan. Ia sadar bahwa Raditya sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikannya. Bahkan, mungkin Raditya akan merasa lega dengan keputusannya ini, karena akhirnya dirinya bisa membenahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil Raditya akan menolak berpisah dengan Kirana. Apalagi, Kirana juga tahu Raditya sangat menyayanginya dan ingin membuatnya bahagia. Dan Kirana tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untuknya dan masa depannya, sesuatu yang akan didukung penuh oleh Raditya. Kirana yakin keputusannya itu tidak akan merugikan siapa pun. Tetapi mengapa dirinya harus merasa segan untuk menyampaikannya kepada Raditya? Dan Kirana pun berjanji pada dirinya sendiri akan mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan Raditya.
Tetapi waktu yang tepat itu tak pernah ating. Setiap kali, Kirana selalu dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatnya sendiri. Dan Pram tidak bisa mengerti hal itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ran. Dan kita harus menunggu masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar, kalau kamu segera menikah denganku setelah masa idahmu selesai. Orang-orang pasti berpikir yang tidak-tidak tentangmu terutama keluarga Radit. Dan aku hanya disini sepuluh bulan lagi.”
“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi… Entahlah.”
“Apa kamu tidak yakin, kalau aku bisa membuatmu bahagia?”
“Aku…” Kirana tergagap dan menggeleng.
“Jadi, tunggu apa lagi? Bicaralah dengan Radit.”
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar