Chapter 14
Kenangan Bersama Tasya
Detik demi detik telah berlalu penuh dengan kesedihan. Tasya telah dikebumikan. Yang tinggal hanyalah kenangan dan pertanyaan yang belum terjawab. Indra meminta izin pada kedua orangtua Tasya untuk bermalam disana. Ia masih ingin mengenang Tasya. Besok, pagi-pagi sekali baru ia akan kembali ke Jakarta-kembali pada rutinitasnya.
Jam 4 sore, setelah mandi dan membersihkan diri... Indra menghampiri Om Marvel-Papa Tasya.
”Om... Indra boleh tanya sesuatu tentang Tasya nggak?”
”Ada apa, Ndra? Tanya saja...”
”Sebenernya Tasya... kecelakaan jam berapa Om?”
”Om rasa sekitar jam 5 sore. Soalnya waktu Om terima telepon dari pihak kepolisian itu, Om baru aja keluar kantor. Semalam waktu Tante telepon kamu itu, kita dalam perjalan ke rumah sakit. Baru pagi tadi kita balik dari Jakarta dengan diiringi mobil yang membawa jenazah Tasya.
Indra terdiam. Kehadiran Tasya setelah kematiannya adalah misteri dalam hidup Indra. Baginya, kejadian semalam itu tak perlu diceritakan pada siapa pun. Biarlah semua kenangan bersama Tasya disimpannya dengan rapi dalam ingatannya. Biarlah senyuman manis tasya menjadi sebuah lukisan yang takkan pernah pudar sinarnya. Biarlah suara lembut Tasya dijadikannya sebuah puisi indah dihatinya.
Kenangannya bersama Tasya bermain-main dalam ingatannya. Curahan hati Tasya pada Diary Merah kesayangannya membuat Indra sedikit tersenyum mengiringi tetesan airmatanya.
”Diary Merah???”
Pikiran Indra beralih pada Diary Merah. Diary Merah itulah satu-satunya teman akrab ketika Tasya dalam kesediahan dan kebahagiaan. Tasya pernah menetesakan airmatanya hanya karena Indra mengejeknya tentang Diary kesayangannya itu.
”Cieee... lagi bikin puisi apa curhat tuh. Hihihi...” Goda Indra.
Tasya kalang kabut menutup Diarinya.
”Nulis apaan sih???”
”Nggak nulis apa-apa, Cuma iseng doang coret-coret.”
”Diary??? Hari gini curhat masih pake Diary??”
”Yeee... suka-suka aku dong.”
”Hahaha... ternyata pacarku yang cantik ini jadul banget ya. Kenapa nggak nulis di komputer atau Laptop sih? Sekarang kan teknologi udah canggih, sayang.
”Mau aku yang beliin?”
”Udah buang aja tuh Diary, bikin malu aja. Jadul tahu!!”
Tasya kelihatan marah dan malu dengan candaan Indra. Matanya mulai berkaca-kaca.
”Kamu nangis ya, Sya? Ya ampun, aku becanda kali sayang.”
Tasya hanya diam dan memalingkan wajahnya ke arah lain diiringi linangan air matanya.
”Tasya sayang, aku minta maaf deh. Aku nggak ada maksud kok bikin kamu nangis kaya’ gini. Hmm... aku boleh liat nggak Diary kamu???
”Mau ngapain liat-liat. Ini kan’ barang jadul. Hari gini nggak ada orang yang pake.”
”Ih waw... ngambek nih ceritanya. Kalo ngambek terus entar aku cium loh.”
Tasya mencubit perut Indra.
”Idih... maunya.”
”Ya mau dong, hehehe. Sekarang boleh liat Diarynya nggak?”
”Enak aja, nggak boleh. Kalo’ aku udah mati kamu baru boleh liat. Hihihi.”
Candaannya bersama Tasya masih teringat jelas di kepala Indra, seolah-olah baru kemarin terjadi.
”Om... Om pernah lihat nggak Diary Merah Tasya yang selalu dibawanya?”
”Diary Merah? Waduh, Om nggak terlalu merhatiin tuh.”
”Tasya selalu bawa Diary itu kemana aja dia pergi kok, Om.”
”Hmmm... mungkin di dalam tas coklat yang dia bawa waktu kecelakaan itu.
”Kalo’ Indra minta Diary itu buat kenang-kenangan boleh nggak, Om?”
”Silahkan. Coba kamu cari tas itu di dalam kamarnya.”
Setelah mendapat izin dari Tante Melati untuk mencari Diary Merah itu dan memintanya untuk dijadikan kenang-kenangan, Indra mulai membongkat tas coklat milik Tasya. Seperti yang sudah diduga Diary Merah itu memang ada di dalam tas coklat yang dibawa Tasya semalam.
Dengan sebuah Diary di tangan, Indra mencari tempat yang sesuai untuk membaca curahan hati Tasya yang tersembunyi di dalam Diary itu. Kursi malas di taman belakang menjadi pilihannya.
Lembar demi lembar dibuka. Catatan dimulai pada 24 september 2008...
Kenangan Bersama Tasya
Detik demi detik telah berlalu penuh dengan kesedihan. Tasya telah dikebumikan. Yang tinggal hanyalah kenangan dan pertanyaan yang belum terjawab. Indra meminta izin pada kedua orangtua Tasya untuk bermalam disana. Ia masih ingin mengenang Tasya. Besok, pagi-pagi sekali baru ia akan kembali ke Jakarta-kembali pada rutinitasnya.
Jam 4 sore, setelah mandi dan membersihkan diri... Indra menghampiri Om Marvel-Papa Tasya.
”Om... Indra boleh tanya sesuatu tentang Tasya nggak?”
”Ada apa, Ndra? Tanya saja...”
”Sebenernya Tasya... kecelakaan jam berapa Om?”
”Om rasa sekitar jam 5 sore. Soalnya waktu Om terima telepon dari pihak kepolisian itu, Om baru aja keluar kantor. Semalam waktu Tante telepon kamu itu, kita dalam perjalan ke rumah sakit. Baru pagi tadi kita balik dari Jakarta dengan diiringi mobil yang membawa jenazah Tasya.
Indra terdiam. Kehadiran Tasya setelah kematiannya adalah misteri dalam hidup Indra. Baginya, kejadian semalam itu tak perlu diceritakan pada siapa pun. Biarlah semua kenangan bersama Tasya disimpannya dengan rapi dalam ingatannya. Biarlah senyuman manis tasya menjadi sebuah lukisan yang takkan pernah pudar sinarnya. Biarlah suara lembut Tasya dijadikannya sebuah puisi indah dihatinya.
Kenangannya bersama Tasya bermain-main dalam ingatannya. Curahan hati Tasya pada Diary Merah kesayangannya membuat Indra sedikit tersenyum mengiringi tetesan airmatanya.
”Diary Merah???”
Pikiran Indra beralih pada Diary Merah. Diary Merah itulah satu-satunya teman akrab ketika Tasya dalam kesediahan dan kebahagiaan. Tasya pernah menetesakan airmatanya hanya karena Indra mengejeknya tentang Diary kesayangannya itu.
”Cieee... lagi bikin puisi apa curhat tuh. Hihihi...” Goda Indra.
Tasya kalang kabut menutup Diarinya.
”Nulis apaan sih???”
”Nggak nulis apa-apa, Cuma iseng doang coret-coret.”
”Diary??? Hari gini curhat masih pake Diary??”
”Yeee... suka-suka aku dong.”
”Hahaha... ternyata pacarku yang cantik ini jadul banget ya. Kenapa nggak nulis di komputer atau Laptop sih? Sekarang kan teknologi udah canggih, sayang.
”Mau aku yang beliin?”
”Udah buang aja tuh Diary, bikin malu aja. Jadul tahu!!”
Tasya kelihatan marah dan malu dengan candaan Indra. Matanya mulai berkaca-kaca.
”Kamu nangis ya, Sya? Ya ampun, aku becanda kali sayang.”
Tasya hanya diam dan memalingkan wajahnya ke arah lain diiringi linangan air matanya.
”Tasya sayang, aku minta maaf deh. Aku nggak ada maksud kok bikin kamu nangis kaya’ gini. Hmm... aku boleh liat nggak Diary kamu???
”Mau ngapain liat-liat. Ini kan’ barang jadul. Hari gini nggak ada orang yang pake.”
”Ih waw... ngambek nih ceritanya. Kalo ngambek terus entar aku cium loh.”
Tasya mencubit perut Indra.
”Idih... maunya.”
”Ya mau dong, hehehe. Sekarang boleh liat Diarynya nggak?”
”Enak aja, nggak boleh. Kalo’ aku udah mati kamu baru boleh liat. Hihihi.”
Candaannya bersama Tasya masih teringat jelas di kepala Indra, seolah-olah baru kemarin terjadi.
”Om... Om pernah lihat nggak Diary Merah Tasya yang selalu dibawanya?”
”Diary Merah? Waduh, Om nggak terlalu merhatiin tuh.”
”Tasya selalu bawa Diary itu kemana aja dia pergi kok, Om.”
”Hmmm... mungkin di dalam tas coklat yang dia bawa waktu kecelakaan itu.
”Kalo’ Indra minta Diary itu buat kenang-kenangan boleh nggak, Om?”
”Silahkan. Coba kamu cari tas itu di dalam kamarnya.”
Setelah mendapat izin dari Tante Melati untuk mencari Diary Merah itu dan memintanya untuk dijadikan kenang-kenangan, Indra mulai membongkat tas coklat milik Tasya. Seperti yang sudah diduga Diary Merah itu memang ada di dalam tas coklat yang dibawa Tasya semalam.
Dengan sebuah Diary di tangan, Indra mencari tempat yang sesuai untuk membaca curahan hati Tasya yang tersembunyi di dalam Diary itu. Kursi malas di taman belakang menjadi pilihannya.
Lembar demi lembar dibuka. Catatan dimulai pada 24 september 2008...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar