Chapter 6
Tak Seperti Janji Matahari
“Ren, koper-kopermu udah siap?” Sebuah suara berat menegurku dari arah pintu kamar. Bang Ryan sudah berdiri di sana. Kelihatan banget, sepupuku itu merasa sedih atas kepergianku besok.
“Udah, Bang.... terima kasih untuk semuanya, ya....” Kupeluk sepupuku itu erat-erat. Sedih juga berpisah setelah sekian lama aku diurus Abang-ku yang baik hati itu.
***
Saat aku tiba di kota kelahiranku, banyak yang sudah berubah. Walaupun aku rajin mengikuti perkembangan kota kelahiran tercinta itu lewat internet, memandangi semuanya secara langsung tetap saja membuatku terheran-heran. Ah.... rasanya tak sabar untuk bertemu Helen. Saat aku berada di Yogya, kami berdua tak pernah absen untuk bertukar kabar lewat e-mail.
Dia tahu aku akan datang, karena aku sudah memberi tahu dia,
sebulan sebelum aku pulang. Entah apa pendapatnya, karena setelah
itu aku belum sempat membuka e-mail box-ku karena sibuk. Tapi aku yakin, dia akan gembira melihatku.
Setelah say hello pada seluruh anggota keluargaku, aku bergegas meninggalkan mereka yang mulai ribut membongkar koper-koper untuk mencari oleh-oleh, menuju rumah Helen.
Teras rumahnya nampak lengang. Masih belum ada yang berubah, kecuali bunga-bunga anggrek koleksi Helen yang kelihatan jadi lebih banyak.
Dengan perasaan yang sukar untuk kulukiskan, kupencet bel rumahnya. Pintu nampak mulai dibuka, dan sebuah sosok asing yang tak kukenal muncul di hadapanku. Seorang laki-laki.
“Cari siapa, ya?” tanya laki-laki itu.
“Helen ada?” tanyaku pelan. Berbagai pertanyaan mulai merasuki benakku, tentang laki-laki itu, dan keberadaannya di rumah Helen.
“Ada... silahkan masuk...”
Aku lalu memasuki rumah mungil yang indah itu.
“Helen.... ada yang nyari kamu tuh!” Laki-laki itu berteriak memanggil, sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh menuju ke arah ruang tamu.
“Rendy..........!!” Helen nampak terkejut melihatku. Aku langsung menuju ke arahnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan manis di pipi kanan gadis yang nampak agak kurusan itu. Dia kelihatan salah tingkah. Aku jadi heran melihat kelakuannya.
“Virgo.... kenalkan, ini Rendy, yang sering kuceritakan itu, lho!” Helen memperkenalkan laki-laki itu. Aku lalu berbalik dan menjabat tangannya.
“Aku Virgo, tunangan Helen. Bulan depan kami akan menikah, setelah wisudanya....”
Ucapan laki-laki itu seketika seakan menghentikan detak jantungku. Aku rasanya ingin berteriak, rasanya sakit sekali.
Namun aku hanya berucap pelan, “Aku baru sampai dari Yogya, kebetulan lewat dan aku mampir untuk say hello sama Kak Helen, aku pergi dulu ya? Sudah ditungguin di rumah, nih!” Aku kembali memanggilnya ‘Kak’ sekedar mengisyaratkan dia bahwa aku sudah mengerti apa yang telah terjadi.
Saat melangkah keluar dari rumah Helen, aku merasa bahwa ada yang tertinggal di sana, mungkin hatiku. Aku kecewa, padahal aku sudah berjanji akan kembali untuknya, dan kutepati janjiku itu. Padahal, tak mudah untuk menghindar dari godaan-godaan saat aku sekolah di Yogya, namun aku berhasil melewati semua itu, hanya untuk satu alasan: Helen. Namun, hanya aku yang menepati janjiku. Karena janji Helen untuk menungguku tak seperti janji matahari, dia mengingkari semuanya............
(‘Till we meet again in three years...)
Tak Seperti Janji Matahari
“Ren, koper-kopermu udah siap?” Sebuah suara berat menegurku dari arah pintu kamar. Bang Ryan sudah berdiri di sana. Kelihatan banget, sepupuku itu merasa sedih atas kepergianku besok.
“Udah, Bang.... terima kasih untuk semuanya, ya....” Kupeluk sepupuku itu erat-erat. Sedih juga berpisah setelah sekian lama aku diurus Abang-ku yang baik hati itu.
***
Saat aku tiba di kota kelahiranku, banyak yang sudah berubah. Walaupun aku rajin mengikuti perkembangan kota kelahiran tercinta itu lewat internet, memandangi semuanya secara langsung tetap saja membuatku terheran-heran. Ah.... rasanya tak sabar untuk bertemu Helen. Saat aku berada di Yogya, kami berdua tak pernah absen untuk bertukar kabar lewat e-mail.
Dia tahu aku akan datang, karena aku sudah memberi tahu dia,
sebulan sebelum aku pulang. Entah apa pendapatnya, karena setelah
itu aku belum sempat membuka e-mail box-ku karena sibuk. Tapi aku yakin, dia akan gembira melihatku.
Setelah say hello pada seluruh anggota keluargaku, aku bergegas meninggalkan mereka yang mulai ribut membongkar koper-koper untuk mencari oleh-oleh, menuju rumah Helen.
Teras rumahnya nampak lengang. Masih belum ada yang berubah, kecuali bunga-bunga anggrek koleksi Helen yang kelihatan jadi lebih banyak.
Dengan perasaan yang sukar untuk kulukiskan, kupencet bel rumahnya. Pintu nampak mulai dibuka, dan sebuah sosok asing yang tak kukenal muncul di hadapanku. Seorang laki-laki.
“Cari siapa, ya?” tanya laki-laki itu.
“Helen ada?” tanyaku pelan. Berbagai pertanyaan mulai merasuki benakku, tentang laki-laki itu, dan keberadaannya di rumah Helen.
“Ada... silahkan masuk...”
Aku lalu memasuki rumah mungil yang indah itu.
“Helen.... ada yang nyari kamu tuh!” Laki-laki itu berteriak memanggil, sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh menuju ke arah ruang tamu.
“Rendy..........!!” Helen nampak terkejut melihatku. Aku langsung menuju ke arahnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan manis di pipi kanan gadis yang nampak agak kurusan itu. Dia kelihatan salah tingkah. Aku jadi heran melihat kelakuannya.
“Virgo.... kenalkan, ini Rendy, yang sering kuceritakan itu, lho!” Helen memperkenalkan laki-laki itu. Aku lalu berbalik dan menjabat tangannya.
“Aku Virgo, tunangan Helen. Bulan depan kami akan menikah, setelah wisudanya....”
Ucapan laki-laki itu seketika seakan menghentikan detak jantungku. Aku rasanya ingin berteriak, rasanya sakit sekali.
Namun aku hanya berucap pelan, “Aku baru sampai dari Yogya, kebetulan lewat dan aku mampir untuk say hello sama Kak Helen, aku pergi dulu ya? Sudah ditungguin di rumah, nih!” Aku kembali memanggilnya ‘Kak’ sekedar mengisyaratkan dia bahwa aku sudah mengerti apa yang telah terjadi.
Saat melangkah keluar dari rumah Helen, aku merasa bahwa ada yang tertinggal di sana, mungkin hatiku. Aku kecewa, padahal aku sudah berjanji akan kembali untuknya, dan kutepati janjiku itu. Padahal, tak mudah untuk menghindar dari godaan-godaan saat aku sekolah di Yogya, namun aku berhasil melewati semua itu, hanya untuk satu alasan: Helen. Namun, hanya aku yang menepati janjiku. Karena janji Helen untuk menungguku tak seperti janji matahari, dia mengingkari semuanya............
(‘Till we meet again in three years...)
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.dindasweet-86.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar