Rabu, 06 Januari 2010

Sketsa Ungu Keping Hati (6)

Chapter 6
Maafkan Aku, Marvel!


Telepon berdering. Suaranya membelah kelengangan sore. Melati berjingkat menjangkau gagang Telepon.

“Halo,” sapanya melantun lunak.

“Melati?” Suara di seberang terdengar bergetar.

“Ini Papa. Sudah terima bingkisan dari Papa? Selamat ulang tahun ya, Sayang? Kapan Mel bisa temui Papa? Papa kangen sekali. Papa ingin ngobrol banyak. Nanti malam tunggu Papa, ya? Papa akan datang. Merayakan ulang tahun Mel. Halo... Mel...? Halo... halo....”

Masih didengarnya suara lembut Papa. Jemari Melati bergetar dengan hebat. Juga bibirnya. Diletakkannya gagang telepon dengan dada sesak. Suara yang dalam dan berwibawa itu....

Ya Tuhan suara itu...

Alangkah lama tak menyentuh gendang telinganya. Semestinya ada kerinduan yang lahir sebagai pengiring. Namun nyatanya tidak. Tak ada setitik pun, kecuali secuil rasa aneh yang membuat dadanya berdegup sakit.

Kemarin memang ada bingkisan dari laki-laki itu — ah, sekarang ia bahkan sudah mulah risih menyebut Papa! Entah apa isinya. Melati belum sempat membukanya. Tepatnya, menolak untuk membukanya. Ia tidak mau. Luka yang ditimbulkan laki-laki itu belum mengering. Bencinya pun belum kikis.

“Sampai kapan kamu akan memelihara dendam itu, Mel?” Bang Dhika menatapnya iba.

Melati diam tak bersuara.

Ya, sampai kapan?

Ia tidak tahu.

Yang dipahaminya hanyalah bahwa tak mudah melupakan peristiwa menyakitkan itu. Juga tak mudah menghapus jejak-jejak kelam yang ditinggalkannya.

Melati beranjak mendekati jendela. Remang sore mulai menghiasi kaki langit dengan warna semarak. Jingga yang menghambur indah diseling nuansa kelabu di sana-sini menjanjikan malam yang cerah dan hangat. Ia mengeluh pedih.

Tepat setahun yang lalu, juga di tempat yang sama persis, ia pun mengamati langit. Menjaga agar mendung yang sering datang tak terduga jangan sampai mendekat. Ia tak ingin pesta ulang tahunnya yang cuma datang sekali setahun itu amburadul gara-gara hujan. Oh, betapa ia selalu menantikan pesta itu. Pesta dimana ia menjelma bagai ratu sejagat. Dan semuanya masih lengkap. Ada Papa, ada Mama....

Ah, persetan!

Air bening mengambang di permukaan matanya. Disekanya dengan sengit. Ia tak mau mengingat semua itu lagi. Tak ada gunanya. Masa manis itu toh tak akan mungkin lagi kembali. Sudah lama luluh. Dilibas kepahitan demi kepahitan.

Oh, mengapa waktu berjalan demikian lambat? batinnya mengeluh.

Rasanya ingin dilompatinya saja hari yang sekarang ini. Toh tak ada yang perlu dirayakan lagi. Segalanya sudah selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar