Chapter 8
Berdamai Dengan Cinta
“Ssst... jangan sebut nama itu lagi. Kak Aurel kan sudah nggak apa-apa sekarang. Lo bisa lihat sendiri kan? Dia udah mulai sibuk kaya’ dulu lagi, kok!”
Melati mengangguk. Dan diakuinya kalau memang kakak perempuannya itu seteguh karang.
Lara tak mempan mengguratkan luka lebih dalam di hatinya.
Tidak seperti Mama.
Tapi ia sadar. Hati setiap orang berbeda.
Diakuinya pula, ia mungkin tak akan setabah Kak Aurel jika dirundung nestapa yang sama. “Sekarang, bagaimana dengan gue? Gue nggak yakin bakalan bisa sekuat Kak Aurel Kalo’ Marvel pun terbirit-birit lari setelah mendengar kisah tentang Mama. Untuk itu gue sudah berusaha menghindarinya. Kendati pun sulit! Cowok tercinta itu ternyata bermental baja. Dan itu menyiksa gue. Kesabarannya mengundang haru, dan... membuat gue semakin menyayanginya. Ya, ini memang sebuah penipuan diri. Tapi adakah jalan lain kecuali itu? Tanpa penghargaan dari orang-orang sekeliling, hidup hanyalah sekadar mengarungi waktu. Tak ada warna, tak ada gairah. Semua jadi serba samar. Menggamangkan. Dan cinta tinggal menjadi sepenggal kata kosong tak bernilai.” Melati membatin dengan bibir terkatup rapat.
“Mel....” Bang Dhika mengusiknya.
“Lo gemetar. Ada apa?”
Melati menengadah.
“Pernahkah Bang Dhika merasa malu punya ibu seperti Mama?”
Bang Dhika menggeleng dengan rupa tak mengerti.
“Gue juga nggak,” desah Melati.
“Tapi nyatanya tetap aja ada yang nggak bisa menerima. Bang Reyhan, misalnya.”
“Melati!” Rahang Bang Dhika mengeras. Mendadak ia merasakan ada beban yang tengah disandang Melati.
“Lo juga mengalami seperti apa yang dialami Kak Aurel?” tanyanya dengan suara tertekan.
“Belum. Tapi barangkali akan.”
“Oh, jadi itu! Itukah sebabnya lo nggak pernah bisa memaafkan Papa?”
“Nggak bisa nggak. Pada akhirnya semuanya akan bermuara ke sana.”
“Siapa dia?”
“Namanya Marvel. Andromedha Marvel Rivai.”
“Dia tahu Mama... gila?!”
“Saat untuk itu pasti akan datang.”
“Jadi belum? Melati….” Bang Dhika mencium ubun-ubunnya.
“Kenapa lo jadi sepenakut ini?”
“Gue nggak takut,” Melati membantah. “Gue cuma nggak pengen sikap Bang Reyhan ke Kak Aurel dulu berulang juga menimpa gue.”
“Sama aja, Mel.” kilah Bang Dhika sabar. “Janganlah terlalu mengasihani diri sendiri. Jujur aja sama dia. Ceritakan semuanya tentang keluarga kita. Jangan takut kalau dia entar ninggalin lo. Jangan sedih. Jangan nangis kalau lo nggak pengen rugi sendiri. Kalau dia benar-benar seperti Reyhan, nggak ada gunanya lo mencucurkan airmata buat dia, kan?”
Melati tak bersuara.
Diresapinya kalimat Bang Dhika. Dan ia merasa menemukan kebenaran di sana. Ya, mengapa baru terpikir hal itu sekarang? Digerakkannya tubuhnya. Beranjak menjangkau tasnya.
“Lo tetap pengen pulang?” Bang Dhika mengawasinya.
“Ya,” jawabnya tenang.
“Tetap nggak pengen menemui Papa?”
“Bang Dhika, please. Beri gue waktu. Bang Dhika nggak pengen gue menemuinya dengan benci dan dendam yang masih berkarat, kan?”
Bang Dhika tersenyum. “Tapi janji, lo pasti bakalan kembali lagi ke sini.”
“Segera setelah segalanya beres.”
“Sampaikan salam Bang Dhika sama “dia”. Hm, siapa namanya tadi?”
“Marvel.”
“Ya, Marvel. Nama yang bagus. Bang Dhika harap hatinya lebih bagus lagi!”
Melati mengulas senyum kecil. Hatinya damai. Tak ada lagi keraguan kini. Ia akan pulang. Ingin diketahuinya rencana apa sesungguhnya yang tengah dirancang sembunyi-sembunyi untuknya. Oh, sudah dibayangkannya wajah-wajah melongo heran yang akan menyambut kepulangannya nanti.
Lalu yang lebih penting lagi, ingin ditemuinya Marvel. Ingin diceritakannya pada cowok itu tentang keberadaan Mama. Dan apa pun nanti reaksi Marvel akan diterimanya dengan segenap kebesaran jiwa.
Ya, ia kini akan mulai belajar berdamai dengan apa yang telah menjadi garis kehidupannya.
Berdamai Dengan Cinta
“Ssst... jangan sebut nama itu lagi. Kak Aurel kan sudah nggak apa-apa sekarang. Lo bisa lihat sendiri kan? Dia udah mulai sibuk kaya’ dulu lagi, kok!”
Melati mengangguk. Dan diakuinya kalau memang kakak perempuannya itu seteguh karang.
Lara tak mempan mengguratkan luka lebih dalam di hatinya.
Tidak seperti Mama.
Tapi ia sadar. Hati setiap orang berbeda.
Diakuinya pula, ia mungkin tak akan setabah Kak Aurel jika dirundung nestapa yang sama. “Sekarang, bagaimana dengan gue? Gue nggak yakin bakalan bisa sekuat Kak Aurel Kalo’ Marvel pun terbirit-birit lari setelah mendengar kisah tentang Mama. Untuk itu gue sudah berusaha menghindarinya. Kendati pun sulit! Cowok tercinta itu ternyata bermental baja. Dan itu menyiksa gue. Kesabarannya mengundang haru, dan... membuat gue semakin menyayanginya. Ya, ini memang sebuah penipuan diri. Tapi adakah jalan lain kecuali itu? Tanpa penghargaan dari orang-orang sekeliling, hidup hanyalah sekadar mengarungi waktu. Tak ada warna, tak ada gairah. Semua jadi serba samar. Menggamangkan. Dan cinta tinggal menjadi sepenggal kata kosong tak bernilai.” Melati membatin dengan bibir terkatup rapat.
“Mel....” Bang Dhika mengusiknya.
“Lo gemetar. Ada apa?”
Melati menengadah.
“Pernahkah Bang Dhika merasa malu punya ibu seperti Mama?”
Bang Dhika menggeleng dengan rupa tak mengerti.
“Gue juga nggak,” desah Melati.
“Tapi nyatanya tetap aja ada yang nggak bisa menerima. Bang Reyhan, misalnya.”
“Melati!” Rahang Bang Dhika mengeras. Mendadak ia merasakan ada beban yang tengah disandang Melati.
“Lo juga mengalami seperti apa yang dialami Kak Aurel?” tanyanya dengan suara tertekan.
“Belum. Tapi barangkali akan.”
“Oh, jadi itu! Itukah sebabnya lo nggak pernah bisa memaafkan Papa?”
“Nggak bisa nggak. Pada akhirnya semuanya akan bermuara ke sana.”
“Siapa dia?”
“Namanya Marvel. Andromedha Marvel Rivai.”
“Dia tahu Mama... gila?!”
“Saat untuk itu pasti akan datang.”
“Jadi belum? Melati….” Bang Dhika mencium ubun-ubunnya.
“Kenapa lo jadi sepenakut ini?”
“Gue nggak takut,” Melati membantah. “Gue cuma nggak pengen sikap Bang Reyhan ke Kak Aurel dulu berulang juga menimpa gue.”
“Sama aja, Mel.” kilah Bang Dhika sabar. “Janganlah terlalu mengasihani diri sendiri. Jujur aja sama dia. Ceritakan semuanya tentang keluarga kita. Jangan takut kalau dia entar ninggalin lo. Jangan sedih. Jangan nangis kalau lo nggak pengen rugi sendiri. Kalau dia benar-benar seperti Reyhan, nggak ada gunanya lo mencucurkan airmata buat dia, kan?”
Melati tak bersuara.
Diresapinya kalimat Bang Dhika. Dan ia merasa menemukan kebenaran di sana. Ya, mengapa baru terpikir hal itu sekarang? Digerakkannya tubuhnya. Beranjak menjangkau tasnya.
“Lo tetap pengen pulang?” Bang Dhika mengawasinya.
“Ya,” jawabnya tenang.
“Tetap nggak pengen menemui Papa?”
“Bang Dhika, please. Beri gue waktu. Bang Dhika nggak pengen gue menemuinya dengan benci dan dendam yang masih berkarat, kan?”
Bang Dhika tersenyum. “Tapi janji, lo pasti bakalan kembali lagi ke sini.”
“Segera setelah segalanya beres.”
“Sampaikan salam Bang Dhika sama “dia”. Hm, siapa namanya tadi?”
“Marvel.”
“Ya, Marvel. Nama yang bagus. Bang Dhika harap hatinya lebih bagus lagi!”
Melati mengulas senyum kecil. Hatinya damai. Tak ada lagi keraguan kini. Ia akan pulang. Ingin diketahuinya rencana apa sesungguhnya yang tengah dirancang sembunyi-sembunyi untuknya. Oh, sudah dibayangkannya wajah-wajah melongo heran yang akan menyambut kepulangannya nanti.
Lalu yang lebih penting lagi, ingin ditemuinya Marvel. Ingin diceritakannya pada cowok itu tentang keberadaan Mama. Dan apa pun nanti reaksi Marvel akan diterimanya dengan segenap kebesaran jiwa.
Ya, ia kini akan mulai belajar berdamai dengan apa yang telah menjadi garis kehidupannya.
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar