Chapter 3
Ada Apa Dengan Melati?
Lantas lahirlah ide itu. Ulang tahun Melati seolah mendatangkan secercah sinar harapan untuk mengembalikan warna-warni pelangi yang mulai pudar. Syafa dihubungi. Lalu merembet pula kepada teman-teman kerja yang lain. Tentu saja tanpa kehadiran Melati. Kepada mereka, Marvel menuturkan semua rencananya. Ia ingin mengembalikan senyum yang sempat hilang dari wajah lembut gadisnya.
Marvel sadar ini bukanlah jalan yang pasti menjanjikan keberhasilan. Tapi setidaknya ia ingin berusaha. Barangkali dengan sebuah kejutan kecil disertai sedikit gila-gilaan semua akan membaik. Artinya, Melati mau buka mulut menceritakan tentang setan iseng yang membuatnya berubah. Lalu setelah itu, apalagi kalau bukan membimbingnya mencari jalan keluar dari kemelut yang merundungnya.
Tapi ternyata semuanya tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Rencana yang didukung sepenuhnya oleh Syafa CS terancam bubar sebelum terealisasikan. Dan penyebabnya justru datangnya dari Melati sendiri. Siapa sangka gadis itu tiba-tiba hendak pulang tepat pada saat ulang tahunnya?
Padahal semuanya telah dipersiapkan dengan rinci. Malah dengan semangat dan partisipasi yang full banget. Nah, kalau semuanya tiba-tiba jadi berantakan seperti ini, bukankah itu amat-sangat tidak lucu?
Syafa menggigit bibir bawahnya gelisah. Sudah direka-rekanya apa yang bakal menimpanya nanti. Sepanjang yang diingatnya, Marvel tak pernah dijumpainya dalam keadaan marah. Justru karena itu ia jadi gentar sendiri. Bagaimana kira-kira kalau nanti Marvel datang dan mendapati apa yang telah diinstruksikannya tidak ada yang jalan sama sekali?
Oh, tidak. Barangkali masih ada yang bisa jalan. Misalnya, kue yang sedang dalam persiapan untuk dibuat ini. Tapi apa gunanya kalau Melati tidak hadir?! Bisa-bisa itu malah akan semakin membuat Marvel murka. Bagaimana ya kira-kira kalau ia murka? Aduh, entah sudah berapa kali pertanyaan itu hilir-mudik di kepalanya. Sepertinya ia ngeri memikirkan itu. Dan aku memang ngeri, pikir Syafa getir.
“Sudah lo bujuk belum, dia? Suara Beby menghentikan lamunannya.Mitha mengangguk.
“Tapi sampai kering tenggorokanku dia tetap bersikeras mau pulang!”
“Kalau gitu biar gue aja yang bujuk!” Aditya bangkit. Bermaksud mendatangi Melati.
Tapi belum lagi kakinya menyentuh anak tangga, suara gedebag-gedebug dari atas mematikan seluruh geraknya.
Melati muncul. Lengkap dengan Travel bag-nya yang sudah gendut menggelembung. Matanya yang sayu menatap teman-temannya satu per satu.
“Gue mau pulang,” lapornya dalam nada biasa.
Terlalu biasa untuk situasi seperti sekarang, sungut Syafa dalam hati.
“Syafa,” Melati mendatanginya.
“Gue titip ini.” Diangsurkannya dua buah buku tebal.
“Tolong berikan ini sama Marvel.”
“Kenapa bukan lo aja yang kasih tuh buku sama Marvel?” Aditya menyela.
“Iya,” susul Keysha begitu melihat ada kesempatan untuk melancarkan rencana.
“Kali aja entar malan dia juga bakalan ke sini.”
Melati tersenyum dipaksakan. “Nggak bisa. Gue harus pulang sekarang!”
“Nggak bisa ditunda?”
“Nggak!”
“Emangnya penting banget ya, Mel?” Melati hanya menjawab dengan anggukan.
“Segitu pentingnya sampai lo nggak bisa menyempatkan diri buat pamit sama Marvel?”
Pertanyaan itu membuat Melati terdiam. Ia menunduk dengan gerak kikuk. Lantas kembali ditatapnya Syafa.
“Gue kan cuma pulang ke Bandung,” kilahnya berusaha tenang.
“Nggak jauh. Dan nggak bakalan lama.”
“Ya, tapi jangan seka...”
“Gue harus pergi sekarang,” Melati memotong tergesa. Sungguh tak menyenangi kepungan bujukan yang bernada mendesak seperti itu. Dan karena tak mau dengar apa-apa lagi, ia segera berjalan cepat ke depan.
“Astaga! Melati seperti Cinderella yang harus segera pulang sebelum jam dua belas malam.” Sahut Aditya.
“Diaa bahkan nggak nanya buat apaan tumpukan resep sebanyak ini.” Sambung Keysha.
“Melati yang aneh! Kita harus bilang apaan sama Marvel?” Tanya Beby Lesu.
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar